Sungai Bahar – Seorang pemuda duduk di balik pohon sawit, melihat keramaian di Kampung Johor Baru, Desa Bungu-Sungai Bahar, Batanghari, Jambi,. Ada hal aneh bagi pemuda itu. Kampungnya kedatangan banyak tamu yang tak dikenalnya. Sorot matanya pun tajam tertuju kepada seorang bapak tua beruban yang sedang berpidato di podium.
"Uuu," begitu ia memanggil ayahnya yang sedang makan daging di dalam gubuk kecil. Ia kemudian menunjuk podium memberi tahu ayahnya itu bahwa ada orang baru yang sedang berpidato. Ternyata, hanya sebentar pemuda itu memperhatikan pidato. Ia lantas pergi, membawa tongkat dan parang kecil tanpa sarungan. Ia berlari memakai celana pendek berwarna campur sari tanpa mengenakan baju. Ia tak peduli lagi dengan keramaian tadi.
Ayahnya pun tetap makan sambil membelakangi keramaian. Hingga beberapa jam sang ayah tetap dalam gubuk terbuat dari daun sawit itu. Ketika dipanggil, ia hanya menoleh sebentar, lalu menghadap ke belakang gubuk lagi.
Seorang anggota Banser NU Batanghari, Buri (27), kemudian menerangkan bahwa pemuda tadi adalah warga suku Anak Dalam atau suku Kubu, yang pada zaman Orde Baru lebih dikenal sebagai manusia rimba, yang sekarang mulai tergusur komunitasnya. "Uuu!" Buri memanggil ayah pemuda tadi. Ia menoleh, tapi memilih membaringkan badan di atas tanah merah dalam gubuknya daripada mengobrol. "Begitulah suku asli sini," kata Buri.
Populasi suku Kubu saat ini sekitar 150.000 orang. Menurut tradisi lisan, suku ini merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh, Sumatera. Cerita lain juga menyebutkan kalau mereka merupakan pengungsi dari Pagaruyung, karena bahasa dan adat istiadatnya hampir sama dengan suku Minangkabau.
Hingga saat ini mereka masih nomad. Makanannya didapat dengan meramu daun-daunan di hutan rimba dan berburu. Namun, sekarang komunitas mereka terus terdesak seiring maraknya pembalakan liar dan pembukaan perkebunan sawit dan karet oleh beberapa perusahaan yang beroperasi di Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Sumatera Barat. Upaya mendekatkan mereka agar hidup menetap di satu tempat selalu memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi mereka dipandang sebagai aset keragaman budaya yang harus dilindungi, tetapi di sisi lain mereka harus hidup setara dengan warga negara lainnya.
Suku Kubu yang belum tersentuh, bahkan tak mengenal negara Indonesia. Tata administrasi negara tidak dikenal sama sekali. Tak heran jika pengusaha sawit dan karet menggerus hutan rimba tempat mereka bernaung, orang Kubu tak akan bisa berbuat apa-apa. Hal itu terungkap dalam pengalaman Wakapolda Jambi Agus Yudharto dalam seminar
“Penerapan Hukum Adat dalam Pelestarian Budaya Nasional” yang digelar Yayasan Trisula Nusantara, Selasa (28/10) lalu. Beberapa tahun yang lalu, seorang kepala suku Kubu tewas karena terlibat perkelahian dengan warga kampung.
Ketika hendak diproses dengan membuat berita acara, tidak ada pihak yang bisa menerjemahkan bahasa suku Kubu. “Sulit diproses. Tidak ada penerjamah yang paham bahasa mereka dengan baik. Mau diambil sumpah, ya agama dia apa?” kata Agus Yudharto.
Sungai Bahar hanya ditempuh selama 2,5 jam dari Kota Jambi dengan mobil. PT Asiatik Persada memiliki wilayah perkebunan sawit seluas 20.000 ha sejak tahun 1987 di daerah itu. “Itu yang dapat izin resmi. Ada berapa kali lipat dari jumlah itu yang tidak jelas memiliki izin atau tidak,” kata seorang warga di Sungai Bahar. “Sertifikat mereka tidak jelas peta tanahnya,” tambahnya.
Masuknya perusahaan perkebunan itulah, bersama beberapa perusahaan karet dan sawit lainnya, praktis tidak menyisakan hutan rimba lagi bagi manusia rimba.
Mereka kini hidup terlunta-lunta, tak bisa berburu kancil, rusa, dan binatang lain seperti dulu. Di antara pohon sawit ditempeli larangan tidak boleh berburu binatang. Meski suku Kubu tidak paham arti tulisan itu, tetap saja mereka ditinggal habitatnya. Anggota Dewan Penasihat Presiden, Subur Budisantoso bersama Ketua Umum Yayasan Trisula Nusantara Hencky Luntungan yang berkunjung ke lokasi berjanji mengembalikan suku Kubu ke hakikatnya sebagai manusia merdeka.
Caranya, mereka harus memiliki wilayah yang mereka kuasai tanpa diusik-usik oleh kuatnya uang milik investor perkebunan sawit dan karet. “Kalau anjing kencing, dia mencari pohon atau batu. Kalau kucing membuang kotoran, dia menggali lubang dulu. Setelah selesai membuang kotorannya, dia akan menutup kembali. Tanda bahwa dia menguasi wilayah itu. Mengapa manusia, seperti suku Anak Dalam tidak boleh menguasai sebidang tanah sedikit pun supaya mereka bisa bertahan hidup?” tanya Subur Budisantoso.
Ada beberapa anggota manusia rimba yang bisa bergaul dengan “orang luar” dan mulai mendapat pendidikan. Beberapa yang sudah paham kemudian melaporkan masalah mereka ke pihak penegak hukum. Namun, tetap saja nasib mereka tidak tertolong. Pemuka Adat Sungai Bahar Tengku Sembilah Bilah mengatakan hidup orang Maalau Sesat dikepung dari dalam dan dari luar. “Kami ini, kini tidur tidak tahu rumah, kalau mati pun kami tidak tahu di mana harus dikuburkan. Semua tanah ulayat yang menjadi hak kami diambil oleh pihak-pihak luar,” katanya.
Provinsi Jambi sendiri memiliki luas 5.100.000 hektare dengan jumlah penduduk 2,74 juta jiwa. Pada tahun 2007, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,6 persen dengan angka pengangguran terbuka 6,7 persen. Jumlah masyarakat miskin mencapai 198.296 orang. Apakah 150.000 warga kubu sudah termasuk di dalamnya? Besar kemungkinan mereka tidak dihitung karena data administratif kenegaraan untuk Orang Kubu belum ada. Mereka memang orang terbelakang yang terbuang.
Sumber
Post a Comment